Perlukah Menghukum Anak

Untuk balita, yang tepat bukanlah memberikan "hukuman", melainkan "konsekuensi". Anak balita belum sepenuhnya sadar jika berbuat salah. Selain itu, masa balita adalah pembentukan sikap dan perilaku positif, sekaligus mengenal aturan-aturan dasar. Jadi, anak sedang dalam tahap belajar mengenal nilai-nilai benar-salah, baik-buruk. Itulah mengapa, penerapan konsekuensi dinilai lebih tepat. Dengan menerapkan konsekuensi, anak dibiasakan berpikir dulu sebelum bertindak. Dengan demikian, ia belajar mengambil keputusan yang terbaik karena sebelumnya sudah berpikir apa untung ruginya kalau dia begini atau begitu.
    Namun, sebelum konsekuensi diterapkan, harus dilakukan pembiasaan terlebih dahulu. Ingat, sebuah perilaku tidak serta-merta terbentuk secara instan. Saat harus membereskan kamar, misal, anak tak langsung bisa dan terbiasa melakukannya setiap hari. Melainkan pertama-tama orangtua harus mengajarkan bagaimana membereskan kamar yang baik sesuai dengan kemampuannya. Selanjutnya anak harus dibiasakan melakukan rutinitas itu.
Setelah pembiasaan, barulah si kecil bisa diajarkan soal dampak jika tidak melakukan tugasnya. Jika itu mengenai kerapian kamarnya, yang paling nyata adalah sulit mencari barang atau mainannya, kamar tidak enak dilihat dan tidak nyaman untuk tidur. Itu pun mesti dilakukan secara berulang-ulang agar anak paham. Maklum, pola berpikirnya masih here and now alias jangka pendek. Diskusikan secara hangat dan terbuka. Melalui diskusi anak diajak bertukar pikiran lewat dialog, sehingga lebih mudah baginya untuk mencerna penjelasan orangtua soal konsekuensi sebuah tindakan.
    Jika anak sudah bisa melaksanakan tugasnya tanpa disuruh, berikan pujian. Ini sangat berarti buat anak, karena anak merasa dihargai dan dicintai, sehingga akan akan memperkuat perilaku positifnya. Namun jika anak tidak menggubris anjuran orangtua, kadang ada baiknya membiarkan dia menerima konsekuensi ketimbang marah. Orangtua tentu bisa menimbang mana perilaku yang cukup aman bila dibiarkan dan mana yang tidak. Pengalaman akan menjadi cambuk bagi anak untuk memperbaiki perilakunya.

Foto: Nakita